Aku menggeleng.
Dia meraih
camera di tanganku lalu menekan tombol playback
untuk melihat hasil fotoku. “Mau aku ajarin bikin foto bulb?” tanyanya sekali
lagi.
“Caranya?”
“Ayo nyebrang
ke situ dulu. Kita ambil foto low angle biar Tugu-nya kelihatan gagah,” ucapnya
sembari menggandeng tanganku melintasi jalanan searah.
Sesampainya di
sebrang jalan, tepatnya di depan sebuah optik, dia mulai mempersiapkan tripod.
“Katanya low angle, ngapain pakai tripod?” kataku heran.
“Kamu rela
kalau kameramu aku taruh di atas jalan aspal kaya gini?” jawabnya ketus. “Nih,
pasang di kameramu,” dia melempar monting tripod padaku.
Aku menyodorkan
kameraku padanya. Dengan cekatan dia mengotak atik settingan pada camera.
Awalnya dia menekan sambil memutar tombol mode pada kamera lalu mengotak atik
tombol yang lain. “Sini aku ajari,” katanya.
“Kalau kamu
putar ke tombol modenya pada posisi B
kameramu secara otomatis bakalan jadi mode Bulb. Bedanya mode Bulb sama mode
manual itu kaya gini,” dia menekan tombol shutter. “Ketika kamu pakai mode
manual, kamu cuma bisa atur shutternya sampai 30sec aja. Kalau kamu pakai mode
Bulb, kamu bisa tekan shutternya sampai lebih dari 30sec. Jadi mode Bulb
waktunya bisa lebih lama,” tututnya panjang lebar.
Setelah
mengoceh panjang lebar dia menekan tombol playback
untuk melihat hasil foto bulb miliknya. “Nih, jadi..” katanya.
“Baguuus!”
seruku.
“Sini coba
sendiri,” dia beranjak dari tempat duduknya lalu berdiri di belakangku. “Kamu
suka warna biru kan? Kalau di kameramu ini bisa di atur color temperaturnya. Semakin
kecil pada lambang kelvin maka warnanya akan blue-ish atau kebiru-biruan.”
“Biar aku coba,”
kataku.
Dia mengangguk
lalu berjalan menjauh dariku. Dia duduk di sisi trotoar yang lain, mencari
angle lain, katanya agar karya milik dia tidak mirip dengan karyaku. Aku hanya
cekikikan setelah mengetahui alasannya.
***
“Sudah dapat?” sekali
lagi dia mengulang pertanyaan yang sama.
“Sudah,”
jawabku.
“Aku antar
pulang sekarang. Aku baru ingat kalau ada beberapa urusan kampus yang sedang
menunggu untuk dijamah,” katanya genit.
“Dih, sok sibuk
lagi.”
“Memang sibuk..”
dia terdiam sejenak. “Kamu masih ingat kata-kataku minggu lalu?”
“Iya, aku
ingat. Kamu sudah memulai proyek kedua, kamu sedang mencari dana untuk research
skripsi, kamu sedang menyusun proposal skripsi, dan selasa besok kamu seminar
proposal. Aku ingat.”
“Maksudku bukan
yang itu..” Aku hanya menatap matanya sekejap lalu melewatinya. Dia berusaha
mengimbangi langkahku, “untuk semester ini saja.. aku minta pengertiannya.”
Aku mengehentikan
langkah. Tersadar bahwa semester ini adalah semester paling menentukan,
semester paling berat, dan dia butuh dukungan. “Maaf..” ucapku lirih.
Tangannya
menyentuh bahuku, dia berdiri tepat di belakangku sekarang, namun aku takut
untuk berbalik arah. “Gak perlu minta maaf..” dia membalik tubuhku. Kini dia
manatapku tajam, “Point dari percakapan minggu lalu bukan tentang kesibukanku.
Tapi sesibuk apa pun aku atau sesibuk apa pun kamu, kita harus menyempatkan
waktu untuk berbagi kabar, karena kesibukan kita dan status hubungan kita yang
begitu rumit membuat hubungan ini rentan.”
Hening.
Dia menarik
nafas dalam-dalam. “Ayo aku antar pulang,” ucapnya sembari menyeret tubuhku
menyebrangi jalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar